Sepercik sinar mentari mulai menelisik di sela sela lorong jendela tepi kamarku, memaksaku untuk membuka mata perlahan meskipun tak ingin. Masih terasa nyaman di zona aman ku, yaitu zona terbaik untuk bermimpi sesuai nurani, alam bawah sadar saat tertidur. Sisa mimpi itu masih terlihat jelas dalam pandangan kabur yang tersibak cahaya mentari. Beranjaklah aku dari tempat zona nyamanku semalam, bersiaplah untuk menghadapi dunia nyata yang senyata nyatanya ku tak ingin ini menjadi nyata. Tapi tidak ada yang dapat kuhindari dari hidup ini, selain hanya terus menggoreskan tunta dilembaran putih yang entah kapan kan berakhir, perjalanan ku yang tak sesuai jalan pikiranku. "Tita, cepat bangun.. " Teriakan keras nan lembut dari sosok malaikat tak bersayap dalam hidupku, seketika membangunkan ku lagi dari angan sesaat di pagi ini. " Iya ma, Tita bangun.. " Aku pun menyahut dengan nada yang masih belum terdengar jelas. Setelah selesai bersiap, aku pun menuju meja makan yang disana telah disiapkan makanan favorit seorang Tita. Usai sudah kegiatanku pagi ini di rumah, bergegaslah aku mengayuh "Si Blue" dia adalah teman karibku sejak aku duduk di bangku SMA, dia yang selalu menemaniku kemanpun kaki ini melangkah, sebuah sepeda istimewa yang kudapat dari Ayah, sebuah penghargaan karena aku berhasil duduk di bangku SMA favorit jurusan Ilmu sains. Meskipun bukan ini yang aku inginkan, Aku seorang Tita Maharani, siswa SMA IPA, usia 17 tahun yang gemar bermain gitar. Dan aku ingin sekali masuk Sekolah Menengah Kejuruan Musik seperti yang aku senangi.
persimpanagn mesti akan ada, seperti jalan hidupku, aku di masukan ke sekolah favorit jurusan sains, agar aku menjadi seorang dokter seperti keinginan hati orang tuaKu. Siapa yang dapat menolak keinginan dua malaikat tak bersayap yang merawatku sejak masih dalam kandungan hingga sekarang. Hati ini meronta, tetapi juga tidak ingin mengecewakan. Karena aku sangat menyayangi mereka. Aku tahu mereka inginkan yang terbaik untuk buah hati nya yang terakhir, tetapi terkadang terlintas pula, apakah tidak ada jalan lain, apakah memang ini jalanku,? Sedangkan aku susah untuk berjalan?
Kemrisik daun kering di tepi jalan menemani perjalanku menuju Sekolah, sesekali hening itu berganti bising mesin kendaraan bermotor. Tak tersadar aku telah berada di depan gedung putih, yang pasti bukan di amerika, tapi inilah sekolahku, temoatku menuntut ilmu selama dua tahun ini. Ku tenggerekkan sepeda ku diantara sepeda sepeda yang lain di belakang gedung. Berjalanlah aku ke ruang kelas di pojok lorong lantai oaling atas. Delapan jam mata pelajaran mulai aku lewati, sepertinya membosankan, oleh karena itu sorenya aku bergegas ke lantai bawah sebuah ruangan istimewa bagiku, kumpulan bagi anak-anak pecinta alunan melodi klasik hingga modern, yang membuat hati dan pikiran ini serasa hidup kembali setelah kejenuhan dari angan-angan di hari ini. Meskipun sebenarnya Mama dan Papaku tidak mengizinkan aku untuk aktif di ekskul ini, tetapi memang sering aku mampir keruangan ini untuk meluapkan segala ekspresi dalam hidupku. Aku bersyukur masih bisa mendengarkan dan memainkan sebuah melodi yang telah lama tidak aku mainkan di kamar tidurku.
Hari ini sesaat terasa hidup setelah aku keluar dari ruangan penuh inspirasi itu, namun sayang waktu bergulir terlaku cepat untuk aku menikmati kebahagiaan sesaat ini. Senja mulai bergulir, semburat awan jingga di ujung barat mengantarkanku mengayuh "Si Blue" kembali ke rumah. Senja yang manis mengantarkan mimpi baru di malam ini. Setelah aku usai membersihkan diriku, kemudian aku bergabung dengan mereka disebuah meja makan yang telah tersaji berbagai hidangan malam ini. Sedikit bercengkerama dan menghabiskan waktu di meja ini pun tak terasa. Segeralah aku di aktivitas rutin ku untuk berteman dengan tumpukan buku sebekum merajut mimpi itu kembali. Tiba-tiba aku mendapat pesan di handphone ku, yang isinya aku di pilih dari pihak sekolah sebagai gitaris band dalam lomba festifal musik nasional. Seketika itu jantungku berdegup kencang rasa bahagia dan kaget terpancar, namun sedih pun membendung ketika teringat bahwa aku pasti tidak diizinkan oleh kedua orangtuaku mengikuti lomba ini, karena sejak dulu mereka tidak suka melihatku bermain musik.
Fajar kembali menyingsing, festifal band tinggal nanti malam, pagi ini aku memberanikan diri untuk meminta izin kepada orang tuaku, tapi sayang dugaan semalam menjadi kenyataan. Dengan muka sedih dan suram aku menemui teman teman ku di sekolah, mereka tengah asik mempersiapkan semuanya, namun aku hanya bisa diam dan termenung. Diam ini membuatku tak tahan, hingga aku hanyut dan tanpa sadar memetik sebuah chord lagu di gitar klasik ini. Sore pun telah tiba, teman-teman yang lain dan pengasuhku mengepak barang - barang untuk pentas. Keraguan menyelimuti perasaan, degup kencang ini tak bisa aku kendalikan.
"Kamu kenapa ta, kamu jadi ikut kan, kita pasti menang kalau ada kamu ta".tegur Ratna, gadis cantik bersuara emas pemimpin grup indie ini. "I iya na, jadi kog, hehe". Dengan terbata-bata aku menjawab sambil meyakinkan diriku.
Kerlap kerlip lampu di sepanjang jalan dan disudut kota menemani perjalanan grup indie ini ke sebuah gedung tempat festifal akan diadakan. Sesampai di sana banyak sekali peserta yang mengikuti, dan mereka mendapat giliran tampil nomor urut lima. Satu persatu peserta pun di panggil, melihat penampilan peserta sebelumnya Ratna, Tita, dan teman-teman sedikit goyah. Namun dengan bantuan Pak Alex, smua dapat dikendalikan. Beliau seorang pembimbing yang sangat ramah dan care terhadap anak didiknya,dengan penuh kebijakan riuh di hati kami dapat diatasi.
Akhirnya grup kami dipanggil, di atas panggung bigitu banyak mata memandangi kami. Degup ini semakin kencang, keringatpun mengucur perlahan, telapak tangan dan kaki pun begitu dingin. Tapi kami mencoba meyakinkan diri dan memberi penampilan yang terbaik. Waktu pengumuman pun tiba,kami tak berharap lebih, meskipun sebenarnya aku sangat menginginkan peringkat pertama, aku akan buktikan kepada orang tua ku bahwa aku bisa membuat mereka bangga dengan jalan yang aku senangi. Tetapi semua perasaan itu campur aduk jadi satu, takut, senang, sedih, dan perasaan lain yang tak bisa aku jelaskan. Kami pun terkejut, rasa syukur dan tidak percaya muncul begitu saja ketika grup kami dipanggil sebagai juara satu. Tiba tiba ada sosok tangan lembut memelukku erat dari belakang. Begitu khas dan hangat, aku hafal betul tangan siapa ini. Dan ternyata benar itu adalah pelukan hangat dari mamaku. Beliau berkata "Aku tau kamu disini nak, mama menunggumu hingga larut, dan mamapun tersadar mama tidak bisa memaksakan kemauanmu untuk bidang lain, mama minta maaf, mama bangga sama kamu,
- Penulis : Yosi Dewantari
0 comments:
Post a Comment